Review 1
PENERAPAN BALANCED SCORECARD SEBAGAI TOLOK UKUR PENILAIAN PADA BADAN USAHA BERBENTUK KOPERASI
Oleh
Ali Mutasowifin
Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 245-264
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi perusahaan. Pengukuran tersebut, misalnya, dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan serta sebagai dasar penyusunan imbalan dalam perusahaan. Selama ini, pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada sisi keuangan. Manajer yang berhasil mencapai tingkat keuntungan atau Return on Investment yang tinggi akan dinilai berhasil, dan memperoleh imbalan yang baik dari perusahaan.
Akan tetapi, menilai kinerja perusahaan semata-mata dari aspek keuangan dapat menyesatkan. Kinerja keuangan yang baik saat ini kemungkinan dicapai dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan jangka panjang perusahaan. Dan sebaliknya, kinerja keuangan yang kurang baik dalam jangka pendek dapat terjadi karena perusahaan melakukan investasi-investasi demi kepentingan jangka panjang perusahaan. Mengatasi kekurangan ini, ditambah dengan kenyataan betapa aktiva perusahaanperusahaan di era informasi ini lebih didominasi oleh intangible assets yang tak terukur, dicobalah pendekatan baru yang mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat aspek atau perspektif, yakni perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta proses belajar dan berkembang. Keempat perspektif tersebut merupakan uraian dan upaya penerjemahan visi dan strategi perusahaan ke dalam terminologi operasional (Kaplan dan Norton, 1996).
Gagasan untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dengan aspek non keuangan melahirkan apa yang dinamakan Balanced Scorecard. Pada era kompetisi yang berlandaskan pengetahuan (knowledge-based competition), kemampuan organisasi untuk mengembangkan, memelihara, serta memobilisasi aktiva tak berwujud (intangible assets) yang dimiliki merupakan kunci bagi keberhasilan. Akan tetapi, pengukuran aspek keuangan ternyata tidak mampu menangkap aktivitas-aktivitas yang menciptakan nilai (value-creating activities) dari aktiva-aktiva tidak berwujud seperti:
• Ketrampilan, kompetensi, dan motivasi para pegawai;
• Database dan teknologi informasi;
• Proses operasi yang efisien dan responsif;
• Inovasi dalam produk dan jasa;
• Hubungan dan kesetiaan pelanggan; serta
• Adanya dukungan politis, peraturan perundang-undangan, dan dari masyarakat (Kaplan dan Norton, 2000).
Dengan Balanced Scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. Balanced Scorecard memungkinkan untuk mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur, demi perbaikan kinerja di masa depan. Melalui metode yang sama dapat dinilai pula apa yang telah dibina dalam intangible assets seperti merk dan loyalitas pelanggan.
Namun demikian, pembahasan mengenai pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard lebih sering dilakukan dalam konteks penerapannya pada perusahaan atau organisasi yang bertujuan mencari laba (profit-seeking organisations). Jarang sekali ada pembahasan mengenai penerapan Balanced Scorecard pada organisasi nirlaba (not-forprofit organisations) atau organisasi dengan karakteristik khusus seperti koperasi, yang ditandai relational contracting, yakni saat owner dan consumer adalah orang yang sama, serta di mana mutual benefit anggota menjadi prioritasnya yang utama (Merchant, 1998). Pada organisasiorganisasi semacam ini, keberhasilan haruslah lebih didasarkan pada kesuksesan pencapaian misi secara luas daripada sekedar perolehan keuntungan (www.balancescorecard.org).
Berlainan dengan perusahaan atau organisasi yang bertujuan semata-mata mencari laba, karakteristik penting lain dari koperasi terlihat dari fungsi dan peran yang diamanatkan oleh UU No. 25/1992 yang di antaranya adalah : "Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya" (UU Perkoperasian).
Dalam konteks Indonesia, pembahasan mengenai koperasi tentunya tidak boleh diabaikan. Tidak saja karena konstitusi kita, dalam penjelasan Pasal 33, dengan tegas menyebutkan bahwa "bangun usaha yang sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia adalah koperasi", namun juga karena fakta empiris yang ada. Data yang terakhir, misalnya, menyebutkan bahwa sebagian besar kesempatan kerja ternyata dihasilkan oleh pengusaha keci lmenengah dan koperasi. Sementara itu, ditinjau dari segi jumlah, saat ini tercatat 69.769 buah koperasi primer dan sekunder yang ada di Indonesia dengan anggota mencapai 21.189.357 jiwa (www.dekopin.org). Sebuah jumlah yang sangatlah signifikan.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lain, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan konglomerat, posisi koperasi ternyata masih sangat terbelakang. Nilai aset koperasi pada tahun 1993 hanya berjumlah Rp 4 trilyun. Jumlah itu kurang dari 1 persen nilai aset berbagai sektor usaha di Indonesia. Nilai aset terbesar dimiliki oleh BUMN dengan jumlah Rp 269 trilyun, disusun oleh konglomerat dengan jumlah Rp 227 trilyun. Sedangkan dalam nilai usaha keadaannya sedikit berbeda. Konglomerat berada di urutan pertama dengan nilai usaha Rp 144 trilyun. BUMN di urutan kedua dengan nilai usaha Rp 80 trilyun. Sedangkan koperasi, dengan nilai usaha sebesar Rp 9,5 trilyun, kembali berada di urutan ketiga (Baswir, 2000).
Memperhatikan kondisi empiris di atas serta amanat konstitusi yang menyertainya, menjadi amatlah relevan untuk membahas kontribusi yang mungkin diberikan oleh Akuntansi Manajemen bagi pengembangan perkoperasian. Dalam konteks inilah signifikansi kajian mengenai kemungkinan pemanfaatan Balanced Scorecard sebagai sarana penilai kinerja pada badan usaha yang berbentuk koperasi.
Karakteristik Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisir pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsipprinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Pengertian ini selaras dengan definisi yang dikemukakan oleh International Cooperative Alliance (ICA) bahwa “A cooperative is an autonomous association of persons united voluntarily to meet their common economic, social, and cultural needs and aspirations through a jointly-owned and democratically-controlled enterprise.” (www.coop.org). Pernyataan ini pun sejalan dengan tujuan koperasi sebagaimana disebut dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Prinsip-prinsip koperasi merupakan dasar kerja koperasi sebagai badan usaha serta menjadi ciri khas dan jati diri koperasi yang membedakannya dari badan usaha lain. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari: kemandirian, keanggotaan bersifat terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Sementara itu, Pradit Machima (1994a) membedakan antara prinsip koperasi dengan nilai dasar koperasi. Ia menulis: “…Cooperative Principles are the rules governing cooperative organizations, administration and business management. Cooperative Basic Values are the moral obligation of doing business in cooperatives. Values are the foundations of principles. They are the soul of principles.” Nilai dasar tersebut meliputi self-help, selfresponsibility, democracy, equality, equity, serta solidarity. Selain itu, para anggota juga percaya pada values of honesty, openness, social responsibility, dan caring for others.
Dari prinsip-prinsip koperasi serta nilai dasar koperasi di atas, dapat kita lihat pelbagai karakteristik penting dari badan usaha yang berbentuk koperasi. Prinsip-prinsip dan nilai dasar koperasi tersebut merupakan pedoman yang memberi arah bagi setiap koperasi dalam menjalankan kegiatannya. Namun demikian perlu diingat bahwa sebagai badan usaha, koperasi juga harus tunduk pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip bisnis yang berlaku umum pada setiap badan usaha.
Peranan Pemerintah dan Praksis Penilaian Koperasi
Sejak masa pemerintahan Orde Lama hingga berakhirnya Orde Baru, koperasi tidak pernah lepas dari campur tangan pemerintah. Koperasi sering menjadi objek dari kebijakan politik pemerintah. Hal itu tidak terlepas dari keinginan pemerintah menjadikan koperasi sebagai pelaksana kebijakankebijakannya di tingkat bawah. Kebijakan pembinaan usaha koperasi sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, yang diprioritaskan untuk mendukung keberhasilan program pengadaan pangan nasional melalui Koperasi Unit Desa, seperti penyaluran pupuk, pembelian padi petani, penyaluran benih varietas baru, yang didukung dengan pemberian kredit pengadaan pangan beserta jaminan kreditnya telah memberikan sumbangan besar bagi tercapainya swasembada beras tahun 1984.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional yang ditandai oleh kemajuan pesat di berbagai sektor di luar sektor pertanian, bidang usaha koperasi juga turut berkembang. Lingkup bidang usaha koperasi berkembang mencakup usaha pertanian maupun nonpertanian, seperti industri pangan, penyaluran pupuk, pemasaran kopra, pemasaran cengkih, pemasaran susu, pemasaran hasil perikanan, peternakan, pertambangan rakyat, kerajinan rakyat, penyaluran BBM, penyaluran minyak goreng, penyaluran semen, usaha pakaian jadi, usaha industri logam dan tambang rakyat, usaha angkutan darat udara laut, pembangunan perumahan sederhana, pelayanan jasa simpan pinjam, pelayanan jasa titipan, penyaluran alat kontrasepsi untuk program KB kepada para anggotanya di daerah terpencil dan masyarakat sekitarnya, pemasaran jasa telekomunikasi, pemasaran jasa kelistrikan pedesaan, penyaluran kredit candak kulak, penyaluran kredit tebu rakyat intensifikasi, dan lain sebagainya.
Pada masa Orde Baru, secara rutin juga dilakukan pemilihan KUD Mandiri, Koperasi Teladan, Koperasi Teladan Utama, dan sejenisnya, dengan penekanan pada besaran-besaran keuangan. Meskipun pemilihanpemilihan semacam ini dilatarbelakangi oleh konsep yang cukup bagus, namun sebagaimana sering terjadi di Indonesia, banyak terjadi penyimpangan dalam implementasinya.
Tentang peranan pemerintah ini patut diperhatikan pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa koperasi tidak dapat dibentuk dengan mentransfer aset atau bantuan eksternal. Koperasi harus dipromosikan melalui upaya mengajarkan cara-cara dan bentuk-bentuk kerjasama ekonomi dan sosial yang baru, dan dengan meyakinkan orang bahwa ini adalah cara yang masuk akal untuk menghadapi tantangan yang berasal dari perubahan ekonomi, sosial, dan teknologi yang cepat (Munkner, 2001).
Akan tetapi, menilai kinerja perusahaan semata-mata dari aspek keuangan dapat menyesatkan. Kinerja keuangan yang baik saat ini kemungkinan dicapai dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan jangka panjang perusahaan. Dan sebaliknya, kinerja keuangan yang kurang baik dalam jangka pendek dapat terjadi karena perusahaan melakukan investasi-investasi demi kepentingan jangka panjang perusahaan. Mengatasi kekurangan ini, ditambah dengan kenyataan betapa aktiva perusahaanperusahaan di era informasi ini lebih didominasi oleh intangible assets yang tak terukur, dicobalah pendekatan baru yang mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat aspek atau perspektif, yakni perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta proses belajar dan berkembang. Keempat perspektif tersebut merupakan uraian dan upaya penerjemahan visi dan strategi perusahaan ke dalam terminologi operasional (Kaplan dan Norton, 1996).
Gagasan untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dengan aspek non keuangan melahirkan apa yang dinamakan Balanced Scorecard. Pada era kompetisi yang berlandaskan pengetahuan (knowledge-based competition), kemampuan organisasi untuk mengembangkan, memelihara, serta memobilisasi aktiva tak berwujud (intangible assets) yang dimiliki merupakan kunci bagi keberhasilan. Akan tetapi, pengukuran aspek keuangan ternyata tidak mampu menangkap aktivitas-aktivitas yang menciptakan nilai (value-creating activities) dari aktiva-aktiva tidak berwujud seperti:
• Ketrampilan, kompetensi, dan motivasi para pegawai;
• Database dan teknologi informasi;
• Proses operasi yang efisien dan responsif;
• Inovasi dalam produk dan jasa;
• Hubungan dan kesetiaan pelanggan; serta
• Adanya dukungan politis, peraturan perundang-undangan, dan dari masyarakat (Kaplan dan Norton, 2000).
Dengan Balanced Scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. Balanced Scorecard memungkinkan untuk mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur, demi perbaikan kinerja di masa depan. Melalui metode yang sama dapat dinilai pula apa yang telah dibina dalam intangible assets seperti merk dan loyalitas pelanggan.
Namun demikian, pembahasan mengenai pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard lebih sering dilakukan dalam konteks penerapannya pada perusahaan atau organisasi yang bertujuan mencari laba (profit-seeking organisations). Jarang sekali ada pembahasan mengenai penerapan Balanced Scorecard pada organisasi nirlaba (not-forprofit organisations) atau organisasi dengan karakteristik khusus seperti koperasi, yang ditandai relational contracting, yakni saat owner dan consumer adalah orang yang sama, serta di mana mutual benefit anggota menjadi prioritasnya yang utama (Merchant, 1998). Pada organisasiorganisasi semacam ini, keberhasilan haruslah lebih didasarkan pada kesuksesan pencapaian misi secara luas daripada sekedar perolehan keuntungan (www.balancescorecard.org).
Berlainan dengan perusahaan atau organisasi yang bertujuan semata-mata mencari laba, karakteristik penting lain dari koperasi terlihat dari fungsi dan peran yang diamanatkan oleh UU No. 25/1992 yang di antaranya adalah : "Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya" (UU Perkoperasian).
Dalam konteks Indonesia, pembahasan mengenai koperasi tentunya tidak boleh diabaikan. Tidak saja karena konstitusi kita, dalam penjelasan Pasal 33, dengan tegas menyebutkan bahwa "bangun usaha yang sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia adalah koperasi", namun juga karena fakta empiris yang ada. Data yang terakhir, misalnya, menyebutkan bahwa sebagian besar kesempatan kerja ternyata dihasilkan oleh pengusaha keci lmenengah dan koperasi. Sementara itu, ditinjau dari segi jumlah, saat ini tercatat 69.769 buah koperasi primer dan sekunder yang ada di Indonesia dengan anggota mencapai 21.189.357 jiwa (www.dekopin.org). Sebuah jumlah yang sangatlah signifikan.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lain, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan konglomerat, posisi koperasi ternyata masih sangat terbelakang. Nilai aset koperasi pada tahun 1993 hanya berjumlah Rp 4 trilyun. Jumlah itu kurang dari 1 persen nilai aset berbagai sektor usaha di Indonesia. Nilai aset terbesar dimiliki oleh BUMN dengan jumlah Rp 269 trilyun, disusun oleh konglomerat dengan jumlah Rp 227 trilyun. Sedangkan dalam nilai usaha keadaannya sedikit berbeda. Konglomerat berada di urutan pertama dengan nilai usaha Rp 144 trilyun. BUMN di urutan kedua dengan nilai usaha Rp 80 trilyun. Sedangkan koperasi, dengan nilai usaha sebesar Rp 9,5 trilyun, kembali berada di urutan ketiga (Baswir, 2000).
Memperhatikan kondisi empiris di atas serta amanat konstitusi yang menyertainya, menjadi amatlah relevan untuk membahas kontribusi yang mungkin diberikan oleh Akuntansi Manajemen bagi pengembangan perkoperasian. Dalam konteks inilah signifikansi kajian mengenai kemungkinan pemanfaatan Balanced Scorecard sebagai sarana penilai kinerja pada badan usaha yang berbentuk koperasi.
Karakteristik Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisir pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsipprinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Pengertian ini selaras dengan definisi yang dikemukakan oleh International Cooperative Alliance (ICA) bahwa “A cooperative is an autonomous association of persons united voluntarily to meet their common economic, social, and cultural needs and aspirations through a jointly-owned and democratically-controlled enterprise.” (www.coop.org). Pernyataan ini pun sejalan dengan tujuan koperasi sebagaimana disebut dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Prinsip-prinsip koperasi merupakan dasar kerja koperasi sebagai badan usaha serta menjadi ciri khas dan jati diri koperasi yang membedakannya dari badan usaha lain. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari: kemandirian, keanggotaan bersifat terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Sementara itu, Pradit Machima (1994a) membedakan antara prinsip koperasi dengan nilai dasar koperasi. Ia menulis: “…Cooperative Principles are the rules governing cooperative organizations, administration and business management. Cooperative Basic Values are the moral obligation of doing business in cooperatives. Values are the foundations of principles. They are the soul of principles.” Nilai dasar tersebut meliputi self-help, selfresponsibility, democracy, equality, equity, serta solidarity. Selain itu, para anggota juga percaya pada values of honesty, openness, social responsibility, dan caring for others.
Dari prinsip-prinsip koperasi serta nilai dasar koperasi di atas, dapat kita lihat pelbagai karakteristik penting dari badan usaha yang berbentuk koperasi. Prinsip-prinsip dan nilai dasar koperasi tersebut merupakan pedoman yang memberi arah bagi setiap koperasi dalam menjalankan kegiatannya. Namun demikian perlu diingat bahwa sebagai badan usaha, koperasi juga harus tunduk pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip bisnis yang berlaku umum pada setiap badan usaha.
Peranan Pemerintah dan Praksis Penilaian Koperasi
Sejak masa pemerintahan Orde Lama hingga berakhirnya Orde Baru, koperasi tidak pernah lepas dari campur tangan pemerintah. Koperasi sering menjadi objek dari kebijakan politik pemerintah. Hal itu tidak terlepas dari keinginan pemerintah menjadikan koperasi sebagai pelaksana kebijakankebijakannya di tingkat bawah. Kebijakan pembinaan usaha koperasi sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, yang diprioritaskan untuk mendukung keberhasilan program pengadaan pangan nasional melalui Koperasi Unit Desa, seperti penyaluran pupuk, pembelian padi petani, penyaluran benih varietas baru, yang didukung dengan pemberian kredit pengadaan pangan beserta jaminan kreditnya telah memberikan sumbangan besar bagi tercapainya swasembada beras tahun 1984.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional yang ditandai oleh kemajuan pesat di berbagai sektor di luar sektor pertanian, bidang usaha koperasi juga turut berkembang. Lingkup bidang usaha koperasi berkembang mencakup usaha pertanian maupun nonpertanian, seperti industri pangan, penyaluran pupuk, pemasaran kopra, pemasaran cengkih, pemasaran susu, pemasaran hasil perikanan, peternakan, pertambangan rakyat, kerajinan rakyat, penyaluran BBM, penyaluran minyak goreng, penyaluran semen, usaha pakaian jadi, usaha industri logam dan tambang rakyat, usaha angkutan darat udara laut, pembangunan perumahan sederhana, pelayanan jasa simpan pinjam, pelayanan jasa titipan, penyaluran alat kontrasepsi untuk program KB kepada para anggotanya di daerah terpencil dan masyarakat sekitarnya, pemasaran jasa telekomunikasi, pemasaran jasa kelistrikan pedesaan, penyaluran kredit candak kulak, penyaluran kredit tebu rakyat intensifikasi, dan lain sebagainya.
Pada masa Orde Baru, secara rutin juga dilakukan pemilihan KUD Mandiri, Koperasi Teladan, Koperasi Teladan Utama, dan sejenisnya, dengan penekanan pada besaran-besaran keuangan. Meskipun pemilihanpemilihan semacam ini dilatarbelakangi oleh konsep yang cukup bagus, namun sebagaimana sering terjadi di Indonesia, banyak terjadi penyimpangan dalam implementasinya.
Tentang peranan pemerintah ini patut diperhatikan pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa koperasi tidak dapat dibentuk dengan mentransfer aset atau bantuan eksternal. Koperasi harus dipromosikan melalui upaya mengajarkan cara-cara dan bentuk-bentuk kerjasama ekonomi dan sosial yang baru, dan dengan meyakinkan orang bahwa ini adalah cara yang masuk akal untuk menghadapi tantangan yang berasal dari perubahan ekonomi, sosial, dan teknologi yang cepat (Munkner, 2001).
Nama : Nisaa’ Aqmarina
NPM : 25211190
Halo, saya Ainah Ann, saat ini saya tinggal di indonesia. Saya hampir muak dengan kehidupan beberapa bulan yang lalu karena saya membutuhkan uang untuk membayar tagihan saya, dan karena situasi saya, saya sangat ingin mendapatkan pinjaman untuk membayar tagihan saya yang sudah dikeluarkan dan membiayai bisnis saya. Semua usaha saya untuk mendapatkan pinjaman dari perusahaan pinjaman swasta dan korporasi internet ini benar-benar sia-sia.
BalasHapusPoin terakhir saya untuk mengatakan selamat tinggal pada pencarian pinjaman adalah ketika Tuhan menyerahkan kepada saya sarana rezeki saya untuk bisnis dan mata pencaharian saya sampai saat ini, yang memberi saya pinjaman sebesar 750 juta Rupee Indonesia. Saya hanya harus bersaksi secara online ini karena saya tahu ada banyak orang di luar sana yang mencari jenis perbuatan baik ini, dan pada saat yang sama saya harus menceritakan dunia tentang kesempatan besar yang menanti mereka.
Mengamankan pinjaman tanpa jaminan, Tidak ada pemeriksaan kredit, tidak ada penandatanganan, dan tidak ada biaya pinjaman, hanya dengan tingkat bunga 2% saja dan rencana pembayaran dan jadwal yang lebih baik. Jangan buang waktu lagi, dan bayar tagihan Anda dengan bantuan Maureen Kurt Financial Service. Anda dapat menghubungi dia melalui (maureenkurtfinancialservice@gmail.com). Dia wanita yang baik hati dan kebajikan, jadi jangan takut untuk bertemu dengannya untuk meminta bantuan. Jika ada keraguan atau ketakutan, Anda selalu bisa menghubungi saya melalui ainahann10@gmail.com