Review 2
PENERAPAN BALANCED SCORECARD SEBAGAI TOLOK UKUR PENILAIAN PADA BADAN USAHA BERBENTUK KOPERASI
Oleh
Ali Mutasowifin
Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 245-264
Perbedaan Karakteristik Koperasi dengan Badan Usaha Lainnya
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai karakteristik koperasi, yang ditunjukkan dalam prinsip-prinsip serta nilai dasar koperasi. Kalau yang dimaksud nilai dasar itu adalah “behavioural assumption” pelaku bisnis, maka mengacu pada paradigma transaction cost analysis, tidak ada bedanya antara “manusia koperasi” dengan “manusia bukan koperasi”. Baik manusia “koperasi” maupun manusia “bukan koperasi” dilandasi oleh “behavioural assumption” yang sama, yakni (1) bounded rationality dan (2) opportunistic behaviour (Hardjosoekarto, 1994).
Yang pertama mengacu pada anggapan bahwa pelaku bisnis memiliki keterbatasan dalam menyerap informasi. Yang kedua menganggap bahwa bila ada kesempatan, para pelaku bisnis cenderung mengejar keuntungannya sendiri dengan kecurangan (self interest-seeking with quile). Memang benar kedua anggapan ini seringkali dipandang terlalu pesimis. Akan tetapi, kalau diperhatikan bahwa tindakan-tindakan kecurangan dan kebocoran terjadi di berbagai tempat, baik di koperasi maupun bukan
koperasi, maka sebenarnya cukup alasan untuk tidak segera menyangkal asumsi pesimistis tersebut.
Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya usaha dan mekanisme persaingan pasar, perilaku buruk menurut behavioral assumption di atas menjadi sulit untuk dipertahankan. Pemerintah dan pelanggan menjadi lebih perhatian dan lebih ketat mengawasi perilaku bisnis yang mereka anggap
menyimpang. Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, para pemikir dan praktisi bisnis mulai melihat potensi besar pada kemanusiaan. Mereka mulai meyakini bahwa keberhasilan usaha mereka bersumber dari masyarakat (seeking profit through customer satisfaction).
Apabila kondisi di atas telah terlampaui, usaha berjalan lancar dengan penuh etika dan keuntungan besar berhasil diraih, orang mulai mencari sesuatu yang lebih dari sekedar laba. Mulailah muncul pada diri mereka motivasi aktualisasi diri dalam kewirausahaan (Simons, 2000).
Kalau dari segi behavioral assumption pada level pelaku transaksi bisnis dikatakan bahwa tidak ada bedanya antara koperasi dengan bukan koperasi, maka timbul pertanyaan: pada level apa yang dapat membedakan badan usaha koperasi dengan badan usaha bentuk lainnya?
Separation of Ownership and Control
Dari segi separation of ownership and control, maka koperasi dalam bentuknya yang paling sederhana dicirikan oleh tidak terpisahnya antara members, customers, dan residual claimants. Dalam koperasi, residual claimants (anggota) sekaligus bertindak sebagai customers. Inilah ciri umum koperasi yang membedakannya dengan organisasi bisnis lain seperti proprietorship, partnership, closed corporation, open corporation, atau notfor-profit organisation.
Dengan bahasa lain, karakteristik utama koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lain adalah bahwa anggota koperasi memiliki identitas ganda (the dual identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (user own oriented firm) (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Dalam kaitan sebagai pengguna jasa koperasi, partisipasi anggota dalam kegiatan usaha yang dijalankan koperasi amatlah penting. Pada dasarnya, kualitas partisipasi tergantung pada interaksi tiga variabel, yakni: Para anggota; Manajemen koperasi; dan Program.
Partisipasi dalam melaksanakan pelayanan yang disediakan koperasi akan berhasil apabila ada kesesuaian antara anggota, program yang ada, serta manajemen. Kesesuaian antara anggota dan program adalah adanya kesepakatan antara kebutuhan anggota dan output program koperasi. Program di sini dimaksudkan sebagai kegiatan usaha utama yang dipilih atau ditentukan oleh manajemen, seperti penyediaan sarana produksi, pembelian hasil produksi anggota, penjualan barang konsumsi, penyediaan fasilitas perkreditan, pelayanan jasa-jasa seperti penerimaan pembayaran rekening listrik, telepon, PAM, dan lain-lain.
Selanjutnya, kesesuaian antara anggota dan manajemen akan terjadi apabila anggota mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengemukakan hasrat kebutuhannya (permintaan) yang kemudian harus direfleksikan atau diterjemahkan dalam keputusan manajemen. Di samping itu, anggota juga diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, saran, dan kritik yang membangun untuk pertumbuhan organisasi koperasi.
Terakhir, harus ada kesesuaian antara program dan manajemen, di mana tugas dari program harus sesuai dengan kemampuan manajemen untuk melaksanakan dan menyelesaikannya.
Jadi, efektifitas partisipasi merupakan fungsi dari tingkat kesesuaian antara anggota, manajemen, dan program, yang bisa diformulasikan sebagai:
P = partisipasi
m = manajemen
a = anggota
p = program
Bila digambarkan dalam sebuah diagram, maka model kesesuaian tersebut akan tampak seperti Gambar berikut (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Terdapat tiga alat utama di mana anggota koperasi dapat mengusahakan agar di dalam keputusan yang diambil manajemen tercermin keinginan dan permintaan anggota. Ketiga alat tersebut “voice, vote, dan exit” atau hak mengeluarkan pendapat, hak suara dalam pemilihan, serta hak untuk keluar.
Dengan voice, anggota koperasi dapat mempengaruhi manajemen dengan mengemukakan pertanyaan atau usul, memberikan informasi atau kritik. Dengan vote, anggota dapat mempengaruhi siapa yang akan dipilih sebagai pengurus atau manajer, pengawas, atau panitia-panitia lain dalam koperasi. Sementara dengan exit, anggota dapat mempengaruhi manajemen dengan cara meninggalkan (keluar) sebagai anggota atau dengan membeli lebih sedikit kepada koperasi dan lebih banyak kepada pedagang saingannya, atau dengan mengancam tidak melakukan atau mengurangi aktivitas-aktivitas pada koperasi (menjadi anggota pasif).
Agar partisipasi efektif, maka ketiga alat tersebut harus bekerja serempak dan saling melengkapi. Voice akan lebih efektif apabila kemungkinan untuk keluar dibebaskan. Apabila pelayanan yang tersedia dimonopoli oleh pengelola, meskipun ada usul-usul dan pemilihan pengurus baru, akan tidak ada gunanya. Meskipun voice dan vote dalam koperasi sangat kuat, tetapi bila tidak ada hak untuk exit, partisipasi juga tidak akan efektif. Sementara itu loyalitas memegang peranan penting dalam mengaktifkan voice dan exit. Akan tetapi, untuk membuat voice menjadi efektif melalui loyalitas, ancaman exit harus ada, dan ini memerlukan adanya tekanan persaingan yang tinggi di pasar.
Kondisi di atas sulit dijumpai pada praktek penyelenggaraan koperasi saat ini. Acap kita jumpai koperasi-koperasi besar dan maju dalamusahanya, namun justru dengan partisipasi yang rendah atau bahkan sama sekali tanpa partisipasi aktif anggotanya. Apabila kita telaah Perhitungan Hasil Usaha yang disajikan, akan tampak betapa sebagian besar, seringkali malah seluruh, penjualan berasal dari pendapatan dari transaksi dengan nonanggota, sementara partisipasi anggota rendah atau kosong sama sekali. Padahal, identitas koperasi justru sesungguhnya ditegakkan dari tingginya partisipasi anggota dalam melakukan transaksi bisnis dengan koperasinya.
Perbedaan sebuah koperasi dengan sebuah korporasi dalam hubungannya dengan transaksi bisnis dengan nonanggota dalam bisnis yang diselenggarakan, dapat digambarkan sebagai berikut (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Model 7-S McKinsey
Determinan lain, yang lebih rinci dibandingkan dengan prinsip tidak terpisahnya residual claimants dengan customers, adalah model 7-S McKinsey. Menurut model ini, unsur-unsur penting sebuah badan usaha, selain isu fungsional seperti marketing dan finansial, adalah 7-S; yakni: (1) strategy; (2) system; (3) structure; (4) staff; (5) skill; (6) style; dan (7) share value (Hardjosoekarto, 1994).
Apabila tiap-tiap unsur S dari 7-S ini diurai, maka akan nampak beda sebuah badan usaha dengan badan usaha yang lain. Dengan cara ini, suatu perusahaan swasta tertentu dapat dibedakan dengan suatu koperasi.
Koperasi, misalnya, didirikan, dimodali, dibiayai, diatur dan diawasi serta dimanfaatkan sendiri oleh anggotanya. Selain itu, tugas pokok badan usaha koperasi adalah menunjang kepentingan ekonomi anggotanya dalam rangka memajukan kesejahteraan anggota (promotion of the members’ welfare). Dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya, koperasi tidak hanya dituntut mempromosikan usaha-usaha ekonomi anggota, tetapi juga mengembangkan sumber daya anggota melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan sehingga anggota semakin profesional dan mampu mengikuti perkembangan bidang usahanya.
Manfaat ekonomi yang diperoleh anggota koperasi ini merupakan salah satu konsep penting yang membedakannya dengan profit-seeking organisation. Dalam perusahaan swasta, adalah jamak bila mereka berusaha mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, sebuah koperasi akan kehilangan identitas atau jati dirinya bila ia hanya berusaha meraih pencapaian prestasi keuangan saja dengan mengabaikan kemanfaatan usaha yang dilakukannya bagi para anggota koperasi.
Itulah pula sebabnya, Laporan Laba Rugi dalam koperasi disebut dengan Perhitungan Hasil Usaha. Istilah ini digunakan mengingat manfaat dari usaha koperasi tidak semata-mata diukur dari sisa hasil usaha atau laba, tetapi lebih ditentukan pada manfaat bagi anggota (Hardjosoekarto, 1994).
Hal inilah yang sering tidak disadari serta dilalaikan oleh banyak koperasi dalam prakteknya saat ini. Ada banyak di antara mereka yang berhasil mencapai penjualan serta sisa hasil usaha yang tinggi, namun itu semua berasal dari usaha yang sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memberi kemanfaatan kepada anggota koperasi tersebut. Bila kita telaah Laporan Promosi Ekonomi Anggota yang ada, akan dapat kita temui nilainya amat kecil atau bahkan kosong sama sekali. Sekali lagi, tentunya ini menyalahi alasan pokok keberadaan (raison d’etre) koperasi tersebut.
Apabila kondisi di atas telah terlampaui, usaha berjalan lancar dengan penuh etika dan keuntungan besar berhasil diraih, orang mulai mencari sesuatu yang lebih dari sekedar laba. Mulailah muncul pada diri mereka motivasi aktualisasi diri dalam kewirausahaan (Simons, 2000).
Kalau dari segi behavioral assumption pada level pelaku transaksi bisnis dikatakan bahwa tidak ada bedanya antara koperasi dengan bukan koperasi, maka timbul pertanyaan: pada level apa yang dapat membedakan badan usaha koperasi dengan badan usaha bentuk lainnya?
Separation of Ownership and Control
Dari segi separation of ownership and control, maka koperasi dalam bentuknya yang paling sederhana dicirikan oleh tidak terpisahnya antara members, customers, dan residual claimants. Dalam koperasi, residual claimants (anggota) sekaligus bertindak sebagai customers. Inilah ciri umum koperasi yang membedakannya dengan organisasi bisnis lain seperti proprietorship, partnership, closed corporation, open corporation, atau notfor-profit organisation.
Dengan bahasa lain, karakteristik utama koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lain adalah bahwa anggota koperasi memiliki identitas ganda (the dual identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (user own oriented firm) (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Dalam kaitan sebagai pengguna jasa koperasi, partisipasi anggota dalam kegiatan usaha yang dijalankan koperasi amatlah penting. Pada dasarnya, kualitas partisipasi tergantung pada interaksi tiga variabel, yakni: Para anggota; Manajemen koperasi; dan Program.
Partisipasi dalam melaksanakan pelayanan yang disediakan koperasi akan berhasil apabila ada kesesuaian antara anggota, program yang ada, serta manajemen. Kesesuaian antara anggota dan program adalah adanya kesepakatan antara kebutuhan anggota dan output program koperasi. Program di sini dimaksudkan sebagai kegiatan usaha utama yang dipilih atau ditentukan oleh manajemen, seperti penyediaan sarana produksi, pembelian hasil produksi anggota, penjualan barang konsumsi, penyediaan fasilitas perkreditan, pelayanan jasa-jasa seperti penerimaan pembayaran rekening listrik, telepon, PAM, dan lain-lain.
Selanjutnya, kesesuaian antara anggota dan manajemen akan terjadi apabila anggota mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengemukakan hasrat kebutuhannya (permintaan) yang kemudian harus direfleksikan atau diterjemahkan dalam keputusan manajemen. Di samping itu, anggota juga diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, saran, dan kritik yang membangun untuk pertumbuhan organisasi koperasi.
Terakhir, harus ada kesesuaian antara program dan manajemen, di mana tugas dari program harus sesuai dengan kemampuan manajemen untuk melaksanakan dan menyelesaikannya.
Jadi, efektifitas partisipasi merupakan fungsi dari tingkat kesesuaian antara anggota, manajemen, dan program, yang bisa diformulasikan sebagai:
P = f ( a, m, p )
Di mana :P = partisipasi
m = manajemen
a = anggota
p = program
Bila digambarkan dalam sebuah diagram, maka model kesesuaian tersebut akan tampak seperti Gambar berikut (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Terdapat tiga alat utama di mana anggota koperasi dapat mengusahakan agar di dalam keputusan yang diambil manajemen tercermin keinginan dan permintaan anggota. Ketiga alat tersebut “voice, vote, dan exit” atau hak mengeluarkan pendapat, hak suara dalam pemilihan, serta hak untuk keluar.
Dengan voice, anggota koperasi dapat mempengaruhi manajemen dengan mengemukakan pertanyaan atau usul, memberikan informasi atau kritik. Dengan vote, anggota dapat mempengaruhi siapa yang akan dipilih sebagai pengurus atau manajer, pengawas, atau panitia-panitia lain dalam koperasi. Sementara dengan exit, anggota dapat mempengaruhi manajemen dengan cara meninggalkan (keluar) sebagai anggota atau dengan membeli lebih sedikit kepada koperasi dan lebih banyak kepada pedagang saingannya, atau dengan mengancam tidak melakukan atau mengurangi aktivitas-aktivitas pada koperasi (menjadi anggota pasif).
Agar partisipasi efektif, maka ketiga alat tersebut harus bekerja serempak dan saling melengkapi. Voice akan lebih efektif apabila kemungkinan untuk keluar dibebaskan. Apabila pelayanan yang tersedia dimonopoli oleh pengelola, meskipun ada usul-usul dan pemilihan pengurus baru, akan tidak ada gunanya. Meskipun voice dan vote dalam koperasi sangat kuat, tetapi bila tidak ada hak untuk exit, partisipasi juga tidak akan efektif. Sementara itu loyalitas memegang peranan penting dalam mengaktifkan voice dan exit. Akan tetapi, untuk membuat voice menjadi efektif melalui loyalitas, ancaman exit harus ada, dan ini memerlukan adanya tekanan persaingan yang tinggi di pasar.
Kondisi di atas sulit dijumpai pada praktek penyelenggaraan koperasi saat ini. Acap kita jumpai koperasi-koperasi besar dan maju dalamusahanya, namun justru dengan partisipasi yang rendah atau bahkan sama sekali tanpa partisipasi aktif anggotanya. Apabila kita telaah Perhitungan Hasil Usaha yang disajikan, akan tampak betapa sebagian besar, seringkali malah seluruh, penjualan berasal dari pendapatan dari transaksi dengan nonanggota, sementara partisipasi anggota rendah atau kosong sama sekali. Padahal, identitas koperasi justru sesungguhnya ditegakkan dari tingginya partisipasi anggota dalam melakukan transaksi bisnis dengan koperasinya.
Perbedaan sebuah koperasi dengan sebuah korporasi dalam hubungannya dengan transaksi bisnis dengan nonanggota dalam bisnis yang diselenggarakan, dapat digambarkan sebagai berikut (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Model 7-S McKinsey
Determinan lain, yang lebih rinci dibandingkan dengan prinsip tidak terpisahnya residual claimants dengan customers, adalah model 7-S McKinsey. Menurut model ini, unsur-unsur penting sebuah badan usaha, selain isu fungsional seperti marketing dan finansial, adalah 7-S; yakni: (1) strategy; (2) system; (3) structure; (4) staff; (5) skill; (6) style; dan (7) share value (Hardjosoekarto, 1994).
Apabila tiap-tiap unsur S dari 7-S ini diurai, maka akan nampak beda sebuah badan usaha dengan badan usaha yang lain. Dengan cara ini, suatu perusahaan swasta tertentu dapat dibedakan dengan suatu koperasi.
Koperasi, misalnya, didirikan, dimodali, dibiayai, diatur dan diawasi serta dimanfaatkan sendiri oleh anggotanya. Selain itu, tugas pokok badan usaha koperasi adalah menunjang kepentingan ekonomi anggotanya dalam rangka memajukan kesejahteraan anggota (promotion of the members’ welfare). Dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya, koperasi tidak hanya dituntut mempromosikan usaha-usaha ekonomi anggota, tetapi juga mengembangkan sumber daya anggota melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan sehingga anggota semakin profesional dan mampu mengikuti perkembangan bidang usahanya.
Manfaat ekonomi yang diperoleh anggota koperasi ini merupakan salah satu konsep penting yang membedakannya dengan profit-seeking organisation. Dalam perusahaan swasta, adalah jamak bila mereka berusaha mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, sebuah koperasi akan kehilangan identitas atau jati dirinya bila ia hanya berusaha meraih pencapaian prestasi keuangan saja dengan mengabaikan kemanfaatan usaha yang dilakukannya bagi para anggota koperasi.
Itulah pula sebabnya, Laporan Laba Rugi dalam koperasi disebut dengan Perhitungan Hasil Usaha. Istilah ini digunakan mengingat manfaat dari usaha koperasi tidak semata-mata diukur dari sisa hasil usaha atau laba, tetapi lebih ditentukan pada manfaat bagi anggota (Hardjosoekarto, 1994).
Hal inilah yang sering tidak disadari serta dilalaikan oleh banyak koperasi dalam prakteknya saat ini. Ada banyak di antara mereka yang berhasil mencapai penjualan serta sisa hasil usaha yang tinggi, namun itu semua berasal dari usaha yang sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memberi kemanfaatan kepada anggota koperasi tersebut. Bila kita telaah Laporan Promosi Ekonomi Anggota yang ada, akan dapat kita temui nilainya amat kecil atau bahkan kosong sama sekali. Sekali lagi, tentunya ini menyalahi alasan pokok keberadaan (raison d’etre) koperasi tersebut.
Nama : Nisaa’ Aqmarina
NPM : 25211190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar