Judul Novel : Aku Buta, Tapi Melihat
Karya : Rachel Stefanie Halim
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tebal : 182 Halaman
Diterbitkan oleh : Elex Media Komputindo
Alur yang digunakan adalah alur mundur
Tokoh utama dalam novel ini adalah Rachel dan Keluarga
Mengundang duka dan iba, tapi juga penuh tawa dan canda. Perjalanan hidup Rachel yang penuh liku, seorang tunanetra yang punya semangat tinggi hingga bisa menikmati kehidupan layaknya orang awas.
"Sebaiknya Ibu menyekolahkan anak Ibu di SLBA, karena mata anak Ibu lambat laun akan menjadi buta."
Bagaikan sambaran petir di siang bolong, Mami dan Papi menjadi shock berat mendengar perkataan itu. Tak pernah disangka jika anak keduanya akan menjadi penyandang tunanetra. Meski begitu, Papi tetap menyuruh Mami menyekolahkanku di sekolah umum. Aku pun bersekolah di sekolah umum.
Banyak hambatan dan kesulitan yang harus kuhadapi, baik dari teman-teman yang sering mengejekku, maupun sistem pengajaran yang memang tidak dikhususkan bagi anak setengah buta sepertiku. Meski langkahku tertatih-tatih melewati segala kesulitan dan tantangan, aku bersyukur karena tidak pernah tinggal kelas.Mami selalu mendukung dan tidak pernah membiarkan aku menyerah dalam keadaan apa pun.
Akhirnya aku berhasil mencapai gelar sarjana dan melanjutkan pergumulanku dalam dunia kerja yang punya tantangan dan hambatan tersendiri. Tak jarang aku menangis sendirian di kamar, menumpahkan segala kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku yang hanya kutujukan pada Tuhan. Aku sering bertanya-tanya dalam hati,"Apakah aku akan selamanya bergantung pada orangtuaku? Tidak akan bisa hidup mandiri? Bagaimana caranya agar aku bisa bekerja dan mencari uang? Ada pria yang mau menikah denganku? Yang cacat seperti ini?"
Ringkasan isi cerita :
Diluar jendela langit tampak menghitam, hanya kerik jangkrik yang terdengar semakin nyaring, menggantikan suara-suara manusia yang lambat laun menghilang di balik pintu kamar rumah sakit. Di salah satu kamar yang lampunya masih dibiarkan menyala, aku terbaring lemah tak berdaya. Saat itu aku seorang bayi kecil yang sedang dirawat karena menderita muntaber. Mami selalu berada tepat di sampingku, sesekali dia terbangun untuk melihat keadaanku. Jam dinding menunjukan tengah malam ketika tiba-tiba aku mulai menangis keras. Kelopak mataku terbuka lebar dengan bola mata mendelik keatas. Mami pun terlihat panik melihat kondisiku seperti itu. Kemudian seorang dokter memeriksa keadaanku dan ternyata masih dalam batas aman. Dua hari kemudian, dokter pun mengizinkan Mami untuk membawaku pulang.
Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku laki-laki dan adikku perempuan. Aku dilahirkan dari orangtua yang sehat, sempurna secara fisik, dan tidak ada yang salah pada perkawinan mereka, seperti adanya ikatan darah yang disebabkan oleh tali persaudaraan, kehamilan yang tidak dikehendaki, garis keturunan yang memiliki riwayat tunanetra, serta hal lain yang memungkinkan daya penglihatanku semakin lemah.
Saat usiaku sekitar enam tahun ketika aku hendak memasuki sekolah dasar, aku mulai menunjukkan tingkah laku ganjil. Walau mataku masih bisa melihat dengan jarak cukup jauh dan aku bisa berjalan sendiri tanpa dituntun, semua terlihat buram. Hal ganjil seperti ini membuat orangtuaku khawatir, bingung, dan tentu saja sedih.
Mami memeriksakan mataku ke dokter mata. Pertama-tama dokter mata yang berada di Sukabumi, kampong halaman ku. Tapi, usaha itu tidak membuahkan hasil. Lalu dengan sekuat tenaga orangtuaku membawaku berobat ke Jakarta. Tujuh orang dokter kami kunjungi, tapi tak satu pun yang memberikan hasil. Akhirnya kami sampai pada dokter terakhir yang mengatakan kepada orangtuaku bahwa kedua mataku akan berangsur menjadi buta. Mami tidak pernah putus asa untuk membawaku berobat agar aku menjadi sehat. Mami mencoba mengajakku berobat ke Singapura saat aku duduk di bangku SMP tapi hasil yang didapat, dokter menyatakan bahwa seharusnya kedua mataku sudah buta sama sekali karena bintik yang ada di tengah bola mataku sudah bolong. Lalu aku pun memulai kembali untuk penyembuhan mataku dengan bertemu seorang dokter di Amsterdam. Dokter itu menyarankan Mami untuk membawaku ke seorang professor mata di kota Nijmegen. Setibanya di Nijmegen, lima orang dokter secara bergiliran memeriksa mataku. Dan beberapa hari kemudian saat kami kembali kesana kami mendapatkan hasil yang membuat harapanku untuk sembuh kembali terlempar sangat jauh.
Saat aku mengetahui jika mataku tidak akan dapat sembuh, tiba-tiba setetes air mata jatuh menuruni pipi. Lalu aku memeluk Mami dan Mami hanya mengusap-usap punggungku.
“Sudahlah,” kata Mami menenangkan, “Sekarang kita kita pasrahkan saja semuanya pada Tuhan. Selama ini Tuhan selalu menolong kamu. Buktinya kamu masih bisa sekolah layaknya anak-anak berpenglihatan normal” (hal 37)
Walau dengan keadaan mataku seperti ini tapi aku tetap bersekolah di sekolah umum dari mulai aku SD hingga SMU walaupun harus menghadapi penolakan terlebih dahulu dari pihak sekolah. Dan ketika aku sekolah Mami selalu menempatkan di deretan bangku paling depan. Ketika membaca buku pun aku harus menggunakan kaca pembesar, kepala kumiringkan ke sebelah kanan karena hanya menggunakan sudut mata, bola mata sebelah kananku menjadi juling. Meski langkahku tertatih-tatih selama sekolah, aku bersyukur tidah pernah tinggal kelas. Dan sewaktu SD hasil ujianku mendapatkan rata-rata 8. Di saat SMU aku meminta izin kepada Mami untuk belajar huruf Braille, karena penglihatanku semakin memburuk. Kaca pembesarku tidak dapat lagi menolongku. Melihat keadaanku seperti itu, orangtuaku memanggil seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku.
Ketika aku lulus SMU, aku mengikuti UMPTN. Saat mendaftarkan UMPTN Fakultas yang kutuju adalah Fakultas Hukum di UI, dan Bimbingan & Konseling di UNJ. Setelah hasil UMPTN keluar, ternyata aku diterima di UNJ. Tapi saat itu, aku malah lebih memilih Universitas Atmajaya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Bimbingan dan Konseling. Waktu berjalan tak terasa hingga akhirnya pada 15 November 2003 aku dapat meraih gelar sarjana S1, sebagai sarjana pendidikan (S.Pd.)
Masa kuliah berhasil kulalui, saatnya melanjutkan tahap kehidupan berikutnya dengan bergumul dalam kompetisi pencarian lowongan pekerjaaan. Aku ragu dalam tahap ini karena kekurangan yang aku punya. Aku hanya menyerahkan semuanya kepada Allah. Suatu hari aku disuruh untuk mengisi suatu acara untuk menceritakan pengalaman hidupku di suatu acara kantor. Dan setelah mengisi acara tiba-tiba saja pemilik perusahaan itu menghampiri dan menawarkan pekerjaan. Dan hingga sekarang aku sudah bekerja selama tujuh tahun. Dan posisiku pun sudah ditempatkan berbeda-beda. Dari mulai resepsionis, lalu mutasi ke bagian HRD Training & Recruitment.
Aku pun beranjak menjadi gadis remaja. Jarak penglihatanku memburuk walau aku masih mampu berjalan sendiri tanpa perlu dituntun orang lain. Usaha untuk menyembunyikan kecacatanku semakin giat kulakukan. Sebagai gadis remaja aku ingin mendapatkan perhatian lebih dari lawan jenis. Pada saat aku masih duduk di kelas 3 SMU, aku berkenalan dengan seorang cowok bernama Andy. Tidak lama kita saling mengenal kita berpacaran. Setelah aepuluh bulan kami berpacaran, Andy tiba-tiba saja memberitahu bahwa orangtuanya tidak merestui hubungan kami berdua. Saat kuliah, aku dekat dengan dua teman cowok yaitu Agus dan Fiko. Ketika mereka menyatakan perasaannya padaku, aku menjatuhkan pilihan kepada Agus. Tetapi Mami tidak menyetujui hubungan ini karena Agus mempunyai kekurangan yang sama denganku.
Jodoh takkan lari kemana! Pepatah ini sangat tepat dan beralasan, khususnya dalam hal yang menyangkut jodohku. Tak perlu ditentang ataupun diributkan, akhirnya keduanya tidak menjadi pasanganku, Fiko maupun Agus. Tak lama kejadian itu aku bertemu sesosok pria jangkung, bermata sipit bernama Wiria. Setelah kami saling mengenal aku pun berpacaran dengan Wiria, dia seseorang yang menerima kondisiku yang tunanetra dengan tidak pernah merasa malu.
Akhir bulan Agustus 2008 adalah hari bersejarah buatku dan Wiria. Di hari yang indah ini kami mengucapkan janji setia seumur hidup. Karena apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak dapat lagi dipisahkan oleh manusia. Tibalah hari yang dinanti-nantikan. Sepertinya baru kemarin aku duduk di bangku sekolahan. Baru kemarin juga rasanya aku duduk di pangkuan papi dan sepertinya baru kemarin aku bermimpi menjadi pengantin, tapi waktu begitu cepat berputar. Akhirnya aku menjadi istri Wiria dan satu tahun kemudian kami mempunyai anak. Kini hidupku benar-benar sempurna. Meski penglihatanku kian memburuk, Allah telah melengkapinya dengan anugerah yang seakan tidak ada habisnya.
Manfaat atau pelajaran yang dapat diperoleh yaitu kita harus tetap bisa berjuang dan selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan walaupun dengan kekurangan yang kita punya, jangan mudah putus asa apabila mendapatkan cobaan dengan kegagalan, karena kegagalan itu merupakan suatu keberhasilan yang tertunda. Dan jangan pernah merasa menyesal dengan kekurangan yang kita miliki karena apa yang telah diberi oleh Allah kita harus selalu bisa mensyukurinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar