Minggu, 21 April 2013

Hukum Perjanjian

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI 
HUKUM PERJANJIAN




Nama : Nisaa’ Aqmarina 
NPM : 25211190 
Kelas : 2EB10
Dosen : DESI PUJIATI

JURUSAN AKUNTANSI 
FAKULTAS EKONOMI 
UNIVERSITAS GUNADARMA


BAB I
Pendahuluan

1.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian mengandung pengertian yang kongkrit. Hal ini dikatakan demikian karena perjanjian dapat dilihat atau dibaca suatu bentuk perjanjian ataupun didengar perkataan-perkataannya yang berupa janji. Suatu perjanjian juga di namakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 

1.2 Standar Kontrak 
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
1.2.1 Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
1.2.2 Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan.
Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.

Suatu kontrak harus berisi:
• Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
• Subjek dan jangka waktu kontrak
• Lingkup kontrak
• Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
• Kewajiban dan tanggung jawab
• Pembatalan kontrak


BAB II
Pembahasan

2.1 Saat lahirnya Perjanjian 
Menurut azas konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.

2.2 Asas Perjanjian 
Ada 7 (tujuh) jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya yaitu :

2.2.1 Asas sistem terbukanya hukum perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur dalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat dalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap, yang bersifat melengkapi. Jadi boleh tidak diindahkan oleh para pihak yang membuat perjanjian, sekalipun untuk itu tetap perlu memperhatikan asas hukum lainnya. Terbukanya sistem hukum ini melahirkan konsekuensi bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat berbagai macam perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan memiliki itikad baik.

2.2.2 Asas Konsesnsualitas
Asas konsesnsualitas memberi isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian atau perjanjian telah ada dan sah sejak saat terjadinya kesepakatan

2.2.3 Asas Personalitas
Asas personalitas diterjemahkan sebagai asas kepribadian, yang berarti pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian maka perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorang pun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain. Namun asas ini dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian untuk pihak ketiga. Dalam hal ini sesorang membuat perjanjian, dimana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain. Hal ini diatur dalam pasal 1317 KUHP. Perjanjian untuk kepentingan pihak ke 3 ini antara lain secara kongkret dapat terlihat didalam perjanjian asuransi yaitu asuransi beasiswa.

2.2.4 Asas Itikad Baik
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan iktikad baik hal ini disebutkan dalam pasal 1338 ayat (3) KUHP. Pengertian iktikad baik mempunyai 2 arti yaitu : a. perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan b. perjanjian yang dibuat harus didasari suasana batin yang memiliki iktikad baik

2.2.5 Asas Pacta sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP yang isinya semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian, karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUHP, sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian.

Asas ini merupakan dasar bagi istilah ‘Kebebasan Berkontrak’ yang sering didengar. Seseungguhnya istilah kebebasan berkontrak mengandung unsur-unsur antara lain kebebasan:
a. Kebebasan mengadakan perjanjian
b. kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian
c. kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun d. kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjian

2.2.6 Asas Force majeur 
Asas ini dikenal dengan asas offer matchat atau asas keadaan memaksa. Asas ini memberi kebebasan debitur dari segala kewajibannya untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang memaksa.

2.2.7 Asas Exeptio non adiempleti contractus 
Asas Exeptio non adiempleti contractus merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan kelalaian.

2.3 Syarat sahnya perjanjian serta batal dan pembatalan perjanjian 

2.3.1 Syarat subyektif dan syarat obyektif 

Agar suatu perjanjian sah, maka diperlukan syarat seperti berikut:
1. Syarat subyektif yang terdiri dari:
a. Adanya kesepakatan antar pihak
b. Adanya kecakapan dari beberapa pihak

2. Syarat obyektif yang terdiri dari:
a. Adanya obyektif yang jelas
b. Adanya sebab yang dihalalkan atau dibenarkan oleh hukum

2.3.2 Dapat dibatalkan dan batal demi hukum 
Kesepakatan yang berupakan salah satu syarat subyektif dianggap tidak ada apabila perjanjian tersebut mengandung unsur paksaan, penipuan atau kekeliruan. Apabila perjanjian yang dibuat mengandung salah satu unsur tersebut serta apabila pihak yang membuat belum dewasa, perjanjian dapat dibatalkan. Dengan kata lain perjanjian dapat dibatalkan dan menjadi tidak berlaku sejak saat dibatalkan yaitu; apabila salah satu pihak menghendaki agar dibatalkan, namun apabila perjanjian tidak dibatalkan maka perjanjian tetap berlangsung dan dianggap sah.
Sedangkan apabila perjanjian tidak memuat syarat obyektif, sebab karena tidak adanya obyek perjanjian yang jelas atau perjanjian tersebut tidak dibenarkan oleh hukum maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya sejak perjanjian hukum dibuat sudah dianggap tidak pernah ada tanpa melalui proses pembatalan terlebih dahulu.

2.4 Penyebab Pembatalan Perjanjian
• Pekerja meninggal dunia
• Jangka waktu perjanjian kerja berakhir
• Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
• Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat: 
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Maka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
a. Orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu

Dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang mebuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu.

2.5 Pelaksanaan suatu perjanjian 
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji saling melaksanakan sesuatu.

Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam 3 macam yaitu:
1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan persentasi
Perjanjian macam pertama, misalnya: jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
Perjanjian macam kedua; perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat suatu sebuah garansi, dan lain sebagainya.
Perjanjian macam ketiga, misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain, dan lain sebagainya.

2.6 Prestasi dan wan prestasi 
Prestasi adalah suatu hubungan hukum yang lahir karena perjanjian dan senantiasa melibatkan minimal dua pihak, yaitu pihak debitur dan pihak kreditur. Debitur wajib melakukan suatu ‘prestasi’, dan prestasi inilah yang dikenal sebagai obyek dari perikatan.

Prestasi tersebut bentuknya adalah :
a. Memberi sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu

Sedangkan syarat dari prestasi adalah:
a. Tertentu
b. Dapat ditentukan
c. Harus mungkin
d. Halal

Wan prestasi adalah apabila seseorang tidak memenuhi prestasinya yang merupakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Tindakan tidak melakukan kewajibannya dikenal dengan sebutan wan prestasi.

Seseorang melakukan wan prestasi apabila:
a. Tidak memenuhi kewajibannya
b. Terlambat memenuhi kewajibannya
c. Memenuhi kewajibannya tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan

Perihal prestasi dari pihak debitur ini, sebelumnya harus dilakukan peringatan terlebih dahulu. Peringatan tersebut dengan istilah sommatie, dan harus dilakukan dengan cara tertulis sebagaimana disebut didalam Pasal 1238 KUHPerdata

Apabila seorang debitur melakukan wan prestasi, ada 4 cara yang dapat dipilih untuk dilakukan oleh seorang kreditur, yaitu:
a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, walaupun pelaksanannya sudah terlambat
b. Kreditur dapat meminta ganti kerugian saja
c. Kreditur dapat meminta agar perjanjian tetap dilaksanakan sekaligus disertai permintaan ganti rugi
d. Kreditur dapat meminta kepada hakim untuk membatalkan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi

Sedangkan ganti rugi yang dapat dituntut karena wan prestasi adalah:
a. Kosten, yaitu kerugian yang berupa biaya-biaya kongkrit yang telah dikeluarkan
b. Schaden, yaitu kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta bendanya
c. Interessen, yaitu keuntungan yang akan diperolehnya seandainya pihak debitur tidak lalai

2.7 Macam-macam perjanjian 
1. Perjanjian Jual-beli
2. Perjanjian Tukar Menukar
3. Perjanjian Sewa-Menyewa
4. Perjanjian Persekutuan
5. Perjanjian Perkumpulan
6. Perjanjian Hibah
7. Perjanjian Penitipan Barang
8. Perjanjian Pinjam-Pakai
9. Perjanjian Pinjam Meminjam
10. Perjanjian Untung-Untungan
11. Perjanjian Penanggungan
12. Perjanjian Perdamaian
13. Perjanjian Pengangkutan
14. Perjanjian Kredit
15. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
16. Perjanjian Kartu Kredit
17. Perjanjian Ke-Agen-an
18. Perjanjian Distributor
19. Perjanjian Sewa Guna Usaha (leasing)
20. Perjanjian Anjak Piutang (factoring agreement)
21. Perjanjian Modal Ventura

Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut: 
1. Perjanjian dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban.
a. Perjanjian dengan cuma-cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
b. Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
a. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
b. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

3. Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
a. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
b. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
c. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan. 

4. Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
a. Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
b. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
c. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan. 


BAB III
Daftar Pustaka

Aspek Hukum dalam Ekonomi & Bisnis Edisi Revisi, Arus Akbar Silondae. SH., LL.M. dan Andi Fariana, S.H., M.H., Mitra Wacana Media, 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar